Ara, putri bungsu dari tiga bersaudara. Satu satunya anak perempuan dari pasangan Panda Irsyad Budiawan dan Bunda Raisya Himagita. Lahir, Palembang 30 Agustus 1993 dan besar di desa nan amat damai, tentram dan sejahtera, Kulonprogo, Yogyakarta. Mempunyai kecenderungan menyukai hal hal yang disukai oleh laki laki, bisa dianalisi karena pengaruh sejak kecil dari kedua kakak kembarnya, Harist dan Hamam. Sejak TK, SD, SMP, dan SMA berseklah di sekolah formal dan favorit di kotanya, dan dilanda kebingungan hebat saat hendak memilih perguruan tinggi pasca lulus sekolah nantinya.
Ara, analisis saat pendampingan psikologi pra Ujian Nasional untuk pewacanaan pemilihan program study lanjut di perguruan tinggi memaparkan:Zesyara N Himaresya
Dokter 50 %
Insyinyur 40%
Koki 10%
......
Astaghfirullahaladzim, “Ya, Allah...jangan pilihkan hamba masuk kedokteran Ya Rabb....”, doaku kala itu. Sungguh, dengan bujuk rayu apapun saya, Zesyara N Himaresya mengaku bertumpah darah satu tumpah darah Indonesia, tidak ingin seperti Kak Hamam masuk kedokteran (sungguh, saya tidak ingin).
Bunda kala itu tidak memberikan lampu hijau atau biru dan merah kemudian meletusnya nunggu hijau, Bunda hanya tersenyum menanggapi celotehanku yang kelimpungan mendapat hasil analisi psikologi tersebut. Selembar kertas yang membuat si pembuat onar juara 1 di rumah, Harits N Himaresya (ITB T.elektro ’07) merasa diatas awan karena musuhnya telah jatuh terpukul telak oleh bumerangnya sendiri (ya,,, saya adalah si malang). “haha... udahlah, tingal di sini aja dek, nemenin Bunda ma KakHamam, ntar kan kuliah jadi mudah... dibantuin ama kak Hamam..hayooo....” ucapnya Kak Harits.
“oh..., teganya... bukan itu abangku sayang, aku nggak suka dokternya, aku nggak penegn jadi dokter..” ucapku semenelangsa mungkin kala itu.
“kenapa??? Takut pasiennya berdarah darah dan benjol benjol? Hehe...” celetuk abang Jabrik masih sibuk dengan rubiknya.
“....iya...”
“hahaha....itu tugasnya Dokter dek, ngobati benjol dan bersihin darah darahnya...”
“...nggak mau...”
“lhohh... bentar deh, kamu masih takut ...??”
“...iya...”
“aduh....jangan berlebihan deh, itu kan udah lama putri pisang...”
“udahlah bang, pokoknya Ara nggak bisa lupain kejadian itu, dan nggak bisa jadi dokter...”
“hmm..., tapi Ayah seneng seneng aja lho lihat putr pisang jadi Dokter...”
‘tetottttttttttttttttttt.........’
(Ayah, Ya Allah... jangan biarkan Ayah tahu hasil analisis ini...)
“bang.... jangan kasih tahu Ayah ya, kalo hasil psikologinya kaya gini, jangan ya bang... please...” bodoh sekali aku ini, memohon pada si buaya untuk menjaga rahasia besar ini sampai aku menjelaskan sendiri drngan kata kataku sendiri pada Ayah. Sebelumnya aku sudah bilang Bunda agar tidak memberi tahu Ayah dulu tentang hasil analisis ini. dan semoga abang jabrik mau mngerti kesengsaraanku, meski aku yakin 100% abang jabrik tidaklah seperti Bunda untuk hal rahasia rahasiaan.
“idih..., ogah Dok!”...
Nah sudah kuduga, pasti Abang tidak mau, tapi aku harus tetap berjuang demi massa depan ku. “semangat...!!!” teriakku dalam hati menguatkan diri sendiri menghadapi situasi ini.’ apapun harus kamu lakukan Ara’, pikirku kala itu.
“please... Ara lakuin apa aja deh...”
“beneran???”
“..iya...”
“Hmm... banyak sih syaratnya, abang nggak yakin kamu mau...”
“mau kok Bang... tapi apa dulu?”
Hening merayapi ruangan itu, aku menatap abang dengan harap harap cemas, layaknya sedang menunggu putusan resend dari majikan. Dan abang terlihat sedang berpikir keras, si licik sedang menysun rencana jahatnya.
“ oke...harus bayar dulu, beliin pulsa, pijitin, siapin kopi, dan beliin martabak setiap hari....”
“...woaaaa....apaaa??? tega itu bang, penyiksaan itu... nggak mau!”
“ya sudah,...” abang jabrik beranjak dari kursi malasnya... “kalo berubah pikiran segera bilang, mungkin habis isya abang mau telfon Ayah...”
Hmm... aku berpikir memeras otak sekuat tenaga, menimbang dan mengahayati serta melakukan analisiss mendalam mengenai baik buruknya melaksanakan denda suap ini.
Poin 1, abang minat bayar. Bisa saja, karena tidka mungkin abang memint bayaran yang cukup besar, dilihat masih adanya ikatan persaudaraan yang termaat kuat diantara kami, dan melihat kondisi sumber keuangan saya yang limit.
Poin 2, abang minta dibeliin pulsa. Itu sungguh tidak wajar. Jelas jelas uang bulanan abang sudah ada jatah beli pulsa, dan saya tidak akan pernah memberikannya.
Poin3, abang minta dipijitin. Aduh.,.... emoh wes, abang itu nyebelin akalu minat dipijiat. Pasti bilangnya kurang keras lah, kurang enak, akhirnya malah berantem adu mulut dan lempar lemparan bantal. Finally, semua berakhir damai dalam terlelapnya tidur.
Poin 4, abang minta disiapin kopi. Okelah... Meski kami sama sama menyukai kopi, setiap saat aku membuat kopi pasti dikomplain terlalau manis alias so sweet. Jadi ini bisa jadi ajang pemaksaan abang menikmati kopi so sweet ala Ara. Alhamdulillah...
Poin 5, abang minta dibeliin martabak setiap hari. Emoh Bang... rugi, abang sekarang lagi libur, jadi dimungkinkan tinggal di rumah lebih lama dari biasanya. Dan dalam hitungan hari terus menerus membeli martabak kesukaannya, uang sakuku bisa langsung habis tanpa sempat aku belikan pisang milki Pak Man.
Hmmm...
“bang...” aku mendongak dar berpikir mendalamku, dan kudapati kursi malas telah ditinggalkan oleh abang jabrikku. Dan kemana perginya si abang??? Mungkinkah dia menghilang??? Atau ada yang menculiknya..( sungguh fikiran yang memilukan). Setengah berlari dan hampir terhuyung mendapati kelebat bayangan si abang menaiki tangga.’bang....!!! tunggu, bisa nego nggak,,?” teriakku. “ups, aku segera mengecilkan suaraku, takut terdengar oleh Bunda, bunda paling sensitif mendengarku berteriak. Dan sayangnya, abang tak menoleh atau bahkan mungkin menghentikan langkahanya. Kupercepat power dan kuperitnggi my “balance” pada titik optimum untuk berlari menyusulnya.
“bang... nego ya..” ucapku setelah berhasil mengatur nafas dan mendapati abang jabrik sedang mencari sesuatu dalam ranjangnya (mungkin handphone). Dia menatapku nanar, dengan senyum kemenangannya (sungguh, serial film kejamnya dunia lewat deh). “nego, tidak bisa...” jawabnya datar sambil mulai berfokus pada handphonenya. ‘bang, please....” ucapku sambil memegangi tangannya seperti anak kecil minta dibeliin permen ayahnya. “bang...” aku semakin memelasakn suaraku. “hhh...!!! abang!....” inginnya aku membanting benda putih ditangannya. “iya... mau nego berapa? Dua ribu atau tiga ribu? Pisang mahal sekarang, petaninya pada pusing...” ucapnya dengan nada serius. Tapi mood bercandaku sedang low battere, jadi tak aku tanggapi candaan ala pedangang pisang.
“gini bang, permintaaan abang terlalu banyak... Ara mau nglaksanai tapi hanya poin 4. Ara mau kok tiap hari buatin abang kopi... tapi jangan bilang Ayah ya bang.. please,” tutur kala itu. Layaknya si malang yang meminta belas kasian si untung. (abang hanya melemparkan senyum termanisnya yang mampu membuat gadis satu kampung jatuh hati padanya). Tapi dimataku senyumnya adalah senyum otak otak koruptor yang sangat licik.
“hmm....” dengan gaya sok ahli pemikir mendalam dan cemerlang abang menggoda kesabaranku. “oke, setiap hari... tapi gulanya satu sendok putri pisang! Mau janji???” ucap abang dengan nada aktor kejam di TV.
“janji...” ada sedikit penekanan pada kata janji yang abang tanyakan.
“hmm... janji deh..” jawabku pasrah bercmapur sangsi. Meski aku bahagia akhirnya abang meluluskan usulan negoku, tapi tumben sekali, biasanya tidak semudah itu abang berhasil kubujuk. Aku mencium gelagat ketidakberesan.
“oke...sekarang aku pengen minum kopi, buatin sekarang juga ya....” ucap abang dengan nada candanya.
“siap bos!!” jawabku sesemangat robot yang full energi. Aku berjalan keluar dengan wajah penuh semangat pengabdian berbalut keikhlasan demi kelancaran hidup dan masa depan saya.
Suasanan dapur yang tidak asing bagiku, mungkin bagi setiap penghuni rumah ini. aktivitas memasakn sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari keluarga kecil dimana aku hidup. Ayah seorang lelaki yang suka dengan acara meramu bahan makanan menjadi olahan yang enak. Bunda, seorang gadis keturunan jawa tulen yang sejak kecil dibiasakan dengan rutinitas dapur sehingga masakan bunda tetaplah no.1 dan tidak ada tandingannya. Dengan otomatis aku dan dua kakakku mewarisi gen baik yang dimiliki kedua orangtuaku ini. meski pada akhirnya sedikit nyeleweng. Kak Harits lah yang paling berhasil untuk hal masak memasak diantara kami bertiga. Entah kenapa masakan Kah Harits pasti selalu enak dan mendapat pujian dari Bunda. Sedang Abang Hamam, dia hanya mewarisi bakat menghabiskan makanan. Dia tergolong manusia super beruntung menurutku, bagaimana tidak? Sebanyak apapun makanan yang masuk dalam tubuhnya dia tetap terlihat ideal tanpa ada penimbunan lemak yang salah di bagian tubuhnya. Inilah yang membuatku sedikit iri denagn Abng jabriku itu. Dan satu lagi kelebihannya, abang sangat handal untuk mengolah berbagai jenis minuman hangat. Hmm....
Lain halnya dengan diriku, seisi rumah selalu prihatin dengan hasil masakanku. Masakan buatanku selalu masuk dalam kategori hancur. Dulu pernah aku mencoba masak soup, astaghfirulla.... benar benar tidak berasa. Bahkan lagu bagai sayur tanpa garam pun lewat dengan masakaknku. Ayahku hanya bilang “harus banyak belajar lagi ya dek...”. dan aku memang tak pernah patah semangat untuk terus belajar memasak. Aku yakin, aku pasti bisa memasak seenak masakan Bunda kelak. Ya kelak, suatu hari nanti.
Kembali pada niatku membuat kopi satu sendok gula untuk Abang. Pertama, ambil cangkir abang. Begini kisah si cangkir, waktu hari ulang tahun pernikahan ayah dan Bunda kami bertiga berinisiatif membelikan sesuatu untuk tanggal bersejarah bagi keluarga kami ini. dan dipilihlah cangkir bergambar dan berlabel panggilan rumah dari masing masing pemiliknya. Hal ini dilatarbelakangi seluruh anggota keluarga kami sangat gemar mengonsumsi minuman hangat. Ditambah lagi kemampuan kak Hamam yang pandai meramu kopi, ya bisa dibilang ahli “perkopian” hehe... cangkit abang berwarna hitam, jelas kalau hitam warna favoritnya.
Setelah aku mendapatkan cangkir hitam berlabel abang dengan icon kartun lelaki berambut jabrik, aku mengelapnya. Membersihkan debu dan sisa air tyang mungkin masih ada. Masukkan dua sendok kopi bubuk (apa aja terserah sesuka selera), kemudian tambahkan satu sendok gula, tambahkan dua sendok susu kreamer, dan tambahkan air hangat ¾ cangkir. Aduk hingga homogen. Terakhir tambahkan air biasa (bisa disebut normal, artinya tidak panas, tidak hangat dan bukan air es... air putih biasalah) hingga cangkir penuh sesuai pesanan. Itu tadi cara membuat resep kopi kesukaan abangku tersayang, jadi untuk para calon istri abang yang sedang ngantri di luar sana silakan mendownload resep ini dan bersiap berlatih membuatnya.
Aku mengantarkan kopi itu ke kamar abang, ku ketuk pintunya tiga kali tapi tidak ada sahutan. Akhirnya aku putuskan kembali ke dapur. Aku menunggu si abang di situ, bagiku dpaur tempat paling nyaman sekarang. aku termenung, memandangi kopi di depanku ini, aku berharap kopi ini enak dan sesuai rasa yang diharpakan Abang, sehingga nasibku bisa terselamatkan.
“lho... malah di sini, mana kopinya?” ucap abang.
Dengna wajah bersinar, aku mengangkat cangkir dan menyuguhkannya pada Abang.
Abang pun menerimanya dan mulai meminumnya.
“Aduhhhh...!! Kopi apa ini Dek! Asinn banget... gagal! Gagal! Batal tadi negonya...!!”
“lhoh...ko bisa?”
Aku pun mencicipi kopi satu sendok gula buatanku.
Woaaa....asinnnnnn.... aku menyadari keslahanku, tapi bagaimana dengan kelajutan negosiasiku? Bagaimana nasibku??
0 komentar:
Posting Komentar
terimakasih telah berkunjung, maaf belum bisa menulis dengan baik.. jazakillah :)